Board Of Scholors

Our Scholar Whose Knowledge Is Useful For Others

No Hadist 41

وعنْ أبي عبدِ اللَّهِ خَبَّابِ بْن الأَرتِّ رضيَ اللَّهُ عنه قال : شَكَوْنَا إِلَى رسولِ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم وَهُو مُتَوسِّدٌ بُردةً لَهُ في ظلِّ الْكَعْبةِ ، فَقُلْنَا : أَلا تَسْتَنْصرُ لَنَا أَلا تَدْعُو لَنَا ؟ فَقَالَ : قَد كَانَ مَنْ قَبْلكُمْ يؤْخَذُ الرَّجُلُ فيُحْفَرُ لَهُ في الأَرْضِ في جْعلُ فِيهَا ، ثمَّ يُؤْتِى بالْمِنْشارِ فَيُوضَعُ علَى رَأْسِهِ فيُجعلُ نصْفَيْن ، ويُمْشطُ بِأَمْشاطِ الْحديدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ وَعظْمِهِ ، ما يَصُدُّهُ ذلكَ عَنْ دِينِهِ ، واللَّه ليتِمنَّ اللَّهُ هَذا الأَمْر حتَّى يسِير الرَّاكِبُ مِنْ صنْعاءَ إِلَى حَضْرمْوتَ لا يخافُ إِلاَّ الله والذِّئْبَ عَلَى غنَمِهِ ، ولكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ » رواه البخاري .<br>وفي رواية : « وهُوَ مُتَوسِّدٌ بُرْدةً وقَدْ لقِينَا مِنَ الْمُشْركِين شِدَّةً »

Dari Abu Abdullah, yaitu Khabbab bin Aratti radhiyallahu anhu, katanya: “Kita mengadu kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasalam dan beliau ketika itu meletakkan pakaian burdahnya di bawah kepalanya sebagai bantal dan berada di naungan Ka’bah, kita berkata: Mengapa Tuan tidak memohonkan pertolongan -kepada Allah- untuk kita, sehingga kita menang? Mengapa Tuan tidak berdoa sedemikian itu untuk kita?” Beliau lalu bersabda: “Pernah terjadi terhadap orang-orang sebelummu -yakni zaman Nabi-nabi yang lalu, yaitu ada seorang yang diambil- oleh musuhnya, karena ia beriman, kemudian digalikanlah tanah untuknya dan ia diletakkan di dalam tanah tadi, selanjutnya didatangkanlah sebuah gergaji dan ini diletakkan di atas kepalanya, seterusnya kepalanya itu dibelah menjadi dua. Selain itu iapun disisir dengan sisir yang terbuat dari besi yang dikenakan di bawah daging dan tulangnya, semua siksaan itu tidak memalingkan ia dari agamanya -yakni ia tetap beriman kepada Allah. Demi Allah sesungguhnya Allah sungguh akan menyempurnakan perkara ini -yakni Agama Islam, sehingga seorang yang berkendaraan yang berjalan dari Shan’a ke Hadhramaut tidak ada yang ditakuti melainkan Allah atau karena takut pada serigala atas kambingnya -sebab takut sedemikian ini lumrah saja. Tetapi engkau semua itu hendak bercepat-cepat -ingin kemenangan- saja.” [Riwayat Bukhari]Dalam riwayat lain diterangkan: “Beliau saat itu sedang berbantal burdahnya, padahal kita telah memperoleh kesukaran yang amat sangat dari kaum musyrikin.” (HR.Riyadhus Shalihin : 41)
No Hadist 42

وعن ابن مَسعُودٍ رضي اللَّه عنه قال : لمَّا كَانَ يَوْمُ حُنَيْنٍ آثر رسولَ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم نَاساً في الْقِسْمَةِ : فأَعْطَى الأَقْرعَ بْنَ حابِسٍ مائةً مِنَ الإِبِلِ وأَعْطَى عُييْنَةَ بْنَ حِصْنٍ مِثْلَ ذلِكَ ، وأَعطى نَاساً منْ أشرافِ الْعربِ وآثَرهُمْ يوْمئِذٍ في الْقِسْمَةِ . فَقَالَ رجُلٌ : واللَّهِ إنَّ هَذِهِ قِسْمةٌ ما عُدِلَ فِيها ، وما أُريد فِيهَا وَجهُ اللَّه ، فَقُلْتُ: واللَّه لأُخْبِرَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم ، فأتيتُهُ فَأخبرته بِما قال ، فتغَيَّر وَجْهُهُ حتَّى كَانَ كَالصِّرْفِ . ثُمَّ قال : « فَمنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ يعدِلِ اللَّهُ ورسُولُهُ ؟ ثم قال : يرحَمُ اللَّهُ موسى قَدْ أُوْذِيَ بِأَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصبرَ » فَقُلْتُ: لا جرمَ لا أَرْفعُ إلَيه بعْدها حدِيثاً. متفقٌ عليه .<br>وقَوْلُهُ « كَالصِرْفَ » هُو بِكسْرِ الصادِ الْمُهْملةِ : وَهُوَ صِبْغٌ أَحْمَرُ

i Allah, pembagian secara ini, sama sekali tidak ada keadilannya dan agaknya tidak dikehendaki untuk mencari keridhaan Allah.” Saya lalu berkata: “Demi Allah, hal ini akan saya beritahukan kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasalam” Saya pun mendatanginya terus memberitahukan kepadanya tentang apa-apa yang dikatakan oleh orang itu. Maka berubahlah warna wajah beliau sehingga menjadi semacam sumba merah -merah padam karena marah- lalu bersabda: “Siapakah yang dapat dinamakan adil, jikalau Allah dan RasulNya dianggap tidak adil juga.” Selanjutnya beliau bersabda: “Allah merahmati Nabi Musa. Ia telah disakiti dengan cara yang lebih sangat dari ini, tetapi ia tetap sabar.” Saya sendiri berkata: “Ah, semestinya saya tidak memberitahukan dan saya tidak akan mengadukan lagi sesuatu pembicaraanpun setelah peristiwa itu kepada beliau lagi.” [Muttafaq ‘alaih].Sabda Nabi shalallahu alaihi wasalam Kashshirfi dengan kasrahnya shad muhmalah, artinya sumba merah. (HR.Riyadhus Shalihin : 42)
No Hadist 43

وعن أنس رضي اللَّه عنه قال : قال رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بعبْدِهِ خَيْراً عجَّلَ لَهُ الْعُقُوبةَ في الدُّنْيَا ، وإِذَا أَرَادَ اللَّه بِعبدِهِ الشَّرَّ أمسَكَ عنْهُ بذَنْبِهِ حتَّى يُوافِيَ بهِ يَومَ الْقِيامةِ » .<br>وقَالَ النبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « إِنَّ عِظَمَ الْجزاءِ مَعَ عِظَمِ الْبلاءِ ، وإِنَّ اللَّه تعالى إِذَا أَحَبَّ قَوماً ابتلاهُمْ ، فَمنْ رضِيَ فلَهُ الرضَا ، ومَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ » رواه الترمذي وقَالَ: حديثٌ حسنٌ

Dari Anas radhiyallahu anhu, berkata: “Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Jikalau Allah menghendaki kebaikan pada seorang hambaNya, maka ia mempercepatkan suatu siksaan -penderitaan- sewaktu dunia, tetapi jikalau Allah menghendaki keburukan pada seorang hambaNya, maka orang itu dibiarkan sajalah dengan dosanya, sehingga nanti akan dipenuhkan balasan -siksaannya pada- hari kiamat.”Dan Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda -juga riwayat Anas radhiyallahu anhu-: “Sesungguhnya besarnya balasan -pahala- itu menilik -tergantung pada- besarnya bala’ yang menimpa dan sesungguhnya Allah itu apabila mencintai sesuatu kaum, maka mereka itu diberi cobaan. Oleh sebab itu barangsiapa yang rela -menerima bala’ tadi-, ia akan memperoleh keridhaan dari Allah dan barangsiapa yang uring-uringan maka ia memperoleh kemurkaan Allah pula.” Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini hadits hasan. (HR.Riyadhus Shalihin : 43)
No Hadist 44

وعنْ أَنَسٍ رضي اللَّه عنه قال : كَانَ ابْنٌ لأبي طلْحةَ رضي اللَّه عنه يَشْتَكي ، فخرج أبُو طَلْحة ، فَقُبِضَ الصَّبِيُّ ، فَلَمَّا رَجَعَ أَبُو طَلْحةَ قال : ما فَعَلَ ابنِي ؟ قَالَت أُمُّ سُلَيْم وَهِيَ أُمُّ الصَّبيِّ : هو أَسْكَنُ مَا كَانَ ، فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ الْعَشَاءَ فَتَعَشَّى ، ثُمَّ أَصَابَ مِنْهَا، فَلَمَّا فرغَ قَالَتْ : وارُوا الصَّبيَّ ، فَلَمَّا أَصْبحَ أَبُو طَلْحَة أَتَى رسولَ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم فَأَخْبرهُ، فَقَالَ: « أَعرَّسْتُمُ اللَّيْلَةَ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، قال : « اللَّهمَّ باركْ لَهُما » فَولَدتْ غُلاماً فقَالَ لِي أَبُو طَلْحَةَ : احْمِلْهُ حتَّى تَأَتِيَ بِهِ النبيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم ، وبَعثَ مَعهُ بِتمْرَات ، فقال : «أَمعهُ شْيءٌ ؟ » قال : نعمْ ، تَمراتٌ فَأَخَذَهَا النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم فَمضَغَهَا ، ثُمَّ أَخذَهَا مِنْ فِيهِ فَجَعَلَهَا في في الصَّبيِّ ثُمَّ حَنَّكَه وسمَّاهُ عبدَ اللَّهِ متفقٌ عليه .<br>وفي روايةٍ للْبُخَاريِّ : قال ابْنُ عُيَيْنَة : فَقَالَ رجُلٌ منَ الأَنْصارِ : فَرَأَيْتُ تَسعة أَوْلادٍ كلُّهُمْ قدْ قَرؤُوا الْقُرْآنَ ، يعْنِي مِنْ أَوْلادِ عَبْدِ اللَّه الْموْلُود .<br>وفي روايةٍ لمسلِم : ماتَ ابْنٌ لأبِي طَلْحَةَ مِنْ أُمِّ سُلَيْمٍ ، فَقَالَتْ لأهْلِهَا : لا تُحَدِّثُوا أَبَا طَلْحَةَ بابنِهِ حتَّى أَكُونَ أَنَا أُحَدِّثُهُ ، فَجَاءَ فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ عَشَاءً فَأَكَلَ وشَرِبَ ، ثُمَّ تَصنَّعتْ لهُ أَحْسنَ ما كانتْ تَصَنَّعُ قَبْلَ ذلكَ ، فَوقَعَ بِهَا ، فَلَمَّا أَنْ رأَتْ أَنَّهُ قَدْ شَبِعِ وأَصَابَ مِنْها قَالتْ: يا أَبَا طلْحةَ ، أَرَايْتَ لَوْ أَنَّ قَوْماً أَعارُوا عارِيتهُمْ أَهْل بيْتٍ فَطَلبوا عاريَتَهُم ، ألَهُمْ أَنْ يمْنَعُوهَا؟ قَالَ : لا ، فَقَالَتْ : فاحتسِبْ ابْنَكَ . قَالَ : فغَضِبَ ، ثُمَّ قَالَ : تركتنِي حتَّى إِذَا تَلطَّخْتُ ثُمَّ أَخْبرتِني بِابْني ، فَانْطَلَقَ حتَّى أَتَى رسولَ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم فأخْبَرهُ بما كَانَ ، فَقَالَ رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « بَاركَ اللَّه لكُما في ليْلتِكُما » .<br>قال : فحملَتْ ، قال : وكَانَ رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم في سفَرٍ وهِي مَعَهُ وكَانَ رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم إِذَا أَتَى الْمَدِينَةِ مِنْ سَفَرٍ لاَ يَطْرُقُها طُرُوقاً فَدنَوْا مِنَ الْمَدِينَةِ ، فَضَرَبَهَا الْمَخاضُ ، فَاحْتَبَس عَلَيْهَا أَبُو طلْحَةَ ، وانْطلَقَ رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم . قَالَ : يقُولُ أَبُو طَلْحةَ إِنَّكَ لتعلمُ يَا ربِّ أَنَّهُ يعْجبُنِي أَنْ أَخْرُجَ معَ رسولِ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم إِذَا خَرَجَ ، وأَدْخُلَ مَعهُ إِذَا دَخَلَ ، وقَدِ احْتَبَسْتُ بِما تَرى . تقولُ أُمُّ سُلَيْمٍ : يا أَبَا طلْحةَ مَا أَجِد الَّذي كنْتُ أَجِدُ ، انْطَلِقْ ، فانْطَلقْنَا ، وضَربهَا المَخاضُ حينَ قَدِمَا فَولَدتْ غُلاماً . فقالَتْ لِي أُمِّي : يا أَنَسُ لا يُرْضِعُهُ أَحدٌ تَغْدُوَ بِهِ عَلَى رسُول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم ، فلمَّا أَصْبحَ احتملْتُهُ فانطَلقْتُ بِهِ إِلَى رسولِ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم . وذَكَرَ تمامَ الْحَدِيثِ

Dari Anas radhiyallahu anhu, katanya: “Abu Thalhah itu mempunyai seorang putera yang sedang menderita sakit. Abu Thalhah keluar pergi -menghadap Nabi shalallahu alaihi wasalam, kemudian anaknya itu dicabutlah ruhnya -yakni meninggal dunia-. Ketika Abu Thalhah kembali -waktu itu ia sedang berpuasa, ia berkata: “Bagaimanakah keadaan anakku?” Ummu Sulaim, yaitu ibu anak tersebut -jadi istrinya Abu Thalhah- menjawab: “Ia dalam keadaan yang setenang-tenangnya.” Istrinya itu lalu menyiapkan makanan malam untuknya kemudian Abu Thalhah pun makan malamlah, selanjutnya ia menyetubuhi istrinya itu. Setelah selesai, Ummu Sulaim berkata: “Makamkanlah anak itu.” Setelah menjelang pagi harinya Abu Thalhah mendatangi Rasulullah shalallahu alaihi wasalam, lalu memberitahukan hal tersebut -kematian anaknya yang ia baru mengerti setelah selesai tidur bersama istrinya. Kemudian Nabi bersabda: “Adakah engkau berdua bersetubuh tadi malam?” Abu Thalhah menjawab: “Ya.” Beliau lalu bersabda pula: “Ya Allah, berikanlah keberkahan pada kedua orang ini -yakni Abu Thalhah dan istrinya-. Selanjutnya Ummu Suiaim itu melahirkan seorang anak lelaki lagi. Abu Thalhah lalu berkata padaku -aku di sini ialah Anas radhiyallahu anhu yang meriwayatkan Hadis ini-: “Bawalah ia -anak yg baru lahir tersebut- sehingga engkau datang di tempat Nabi shalallahu alaihi wasalam dan besertanya kirimkanlah beberapa biji buah kurma. Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Adakah besertanya sesuatu benda?” Ia -Anas- menjawab: “Ya, ada beberapa biji buah kurma.” Buah kurma itu diambil oleh Nabi shalallahu alaihi wasalam lalu dikunyahnya kemudian diambillah dari mulutnya, selanjutnya dimasukkanlah dalam mulut anak tersebut. Setelah itu digosokkan di langit-langit mulutnya dan memberinya nama Abdullah.” [Muttafaq ‘alaih].Dalam riwayat Bukhari disebutkan demikian: Ibnu ‘Uyainah berkata: “Kemudian ada seorang dari golongan sahabat Anshar berkata: “Lalu saya melihat sembilan orang anak lelaki yang semuanya dapat membaca dengan baik dan hafal akan al-Quran, yaitu semuanya dari anak-anak Abdullah yang dilahirkan hasil peristiwa malam dahulu itu. Dalam riwayat Muslim disebutkan: “Anak Abu Thalhah dari Ummu Sulaim meninggal dunia, lalu istrinya itu berkata kepada seluruh keluarganya: “Janganlah engkau semua memberitahukan hal kematian anak itu kepada Abu Thalhah, sehingga aku sendirilah yang hendak memberitahukannya nanti.” Abu Thalhah -yang saat itu berpergian- lalu datanglah, kemudian istrinya menyiapkan makan malam untuknya dan iapun makan dan minumlah. Selanjutnya istrinya itu memperhias diri dengan sebaik-baik hiasan yang ada padanya dan bahkan belum pernah berhias semacam itu sebelum peristiwa tersebut. Seterusnya Abu Thalhah menyetubuhi istrinya. Sewaktu istrinya telah mengetahui bahwa suaminya telah kenyang -puas- dan selesai menyetubuhinya, iapun berkatalah pada Abu Thalhah: “Bagaimanakah pendapat kanda, jikalau sesuatu kaum meminjamkan sesuatu yang dipinjamkannya kepada salah satu keluarga, kemudian mereka meminta kembali apa yang dipinjamkannya. Patutkah keluarga yang meminjamnya itu menolak untuk mengembalikannya benda tersebut kepada yang meminjaminya?” Abu Thalhah menjawab: “Tidak boleh menolaknya -yakni harus menyerahkannya.” Kemudian berkata pula istrinya: “Nah, perhitungkanlah bagaimana pinjaman itu jikalau berupa anakmu sendiri?” Abu Thalhah lalu marah-marah kemudian berkata: “Engkau biarkan aku tidak mengetahui -kematian anakku itu, sehingga setelah aku terkena kotoran -maksudnya kotoran bekas bersetubuh, lalu engkau beritahukan hal anakku itu padaku.” Iapun lalu berangkat sehingga datang di tempat Rasulullah shalallahu alaihi wasalam lalu memberitahukan segala sesuatu yang telah terjadi, kemudian Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu berdua dalam malam mu itu.” Anas radhiyallahu anhu berkata: “Kemudian istrinya hamil.” Anas radhiyallahu anhu melanjutkan katanya: “Rasulullah shalallahu alaihi wasalam sedang dalam berpergian dan Ummu Sulaim itu menyertainya pula -bersama suaminya juga. Rasulullah shalallahu alaihi wasalam apabila datang di Madinah di waktu malam dari berpergian, tidak pernah mendatangi rumah keluarganya malam-malam. Ummu Sulaim tiba-tiba merasa sakit karena hendak melahirkan, maka oleh karena Abu Thalhah tertahan -yakni tidak dapat terus mengikuti Nabi shalallahu alaihi wasalam Rasulullah shalallahu alaihi wasalam terus berangkat.” Anas berkata: “Setelah itu Abu Thalhah berkata: “Sesungguhnya Engkau tentulah Maha Mengetahui, ya Tuhanku, bahwa saya ini amat tertarik sekali untuk keluar berpergian bersama-sama Rasulullah shalallahu alaihi wasalam di waktu beliau keluar berpergian dan untuk masuk -tetap di negerinya- bersama-sama dengan beliau di waktu beliau masuk. Sesungguhnya saya telah tertahan pada saat ini dengan sebab sebagaimana yang Engkau ketahui.” Ummu Sulaim lalu berkata: “Hai Abu Thalhah, saya tidak menemukan sakitnya hendak melahirkan sebagaimana yang biasanya saya dapatkan -jikalau hendak melahirkan anak. Maka itu berangkatlah. Kitapun -maksudnya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam, Abu Thalhah dan istrinya- berangkatlah, Ummu Sulaim sebenarnya memang merasakan sakit hendak melahirkan, ketika keduanya itu datang, lalu melahirkan seorang anak lelaki. Ibuku -yakni ibunya Anas radhiyallahu anhu- berkata padaku -pada Anas radhiyallahu anhu: “Hai Anas, janganlah anak itu disusui oleh siapapun sehingga engkau pergi pagi-pagi besok dengan membawa anak itu kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasalam” Ketika waktu pagi menjelma, saya -Anas radhiyallahu anhu- membawa anak tadi kemudian pergi dengannya kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasalam Ia lalu meneruskan cerita hadits ini sampai selesainya.Keterangan:Hadis di atas itu memberikan kesimpulan tentang sunnahnya melipur orang yang sedang dalam kedukaan agar berkurang kesedihan hatinya, juga bolehnya memalingkan sesuatu persoalan kepada persoalan yang lain lebih dulu, untuk ditujukan kepada hal yang dianggap penting, sebagaimana perilaku istri Abu Thalhah kepada suaminya. Ini tentu saja bila amat diperlukan untuk berbuat sedemikian itu. Sementara itu hadits di atas juga menjelaskan akan sunnahnya seorang istri berhias seelok-eloknya agar suaminya tertarik padanya dan tidak sampai terpesona oleh wanita lain, sehingga menyebabkan terjerumusnya suami itu dalam kemesuman yang diharamkan oleh agama. Demikian pula istri dianjurkan sekali untuk berbuat segala hal yang dapat menggembirakan suami dan melayaninya dengan hati penuh kelapangan serta wajah berseri-seri, baik dalam menyiapkan makanan dan hidangan sehari-hari ataupun dalam seketiduran. Jadi salah sekali, apabila seorang wanita itu malahan berpakaian serba kusut ketika di rumah, tetapi di saat keluar rumah lalu bersolek seindah-indahnya. Juga salah pula apabila seorang istri itu kurang memperhatikan keadaan dan selera suaminya dalam hal makan minumnya, ataupun dalam cara melayaninya dalam persetubuhan. (HR.Riyadhus Shalihin : 44)
No Hadist 45

وعنْ أَبِي هُريرةَ رضي اللَّه عنه أَن رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال : « لَيْسَ الشديدُ بالصُّرَعةِ إِنمَّا الشديدُ الَّذي يمْلِكُ نَفسَهُ عِنْد الْغَضَبِ » متفقٌ عليه .<br>« والصُّرَعَةُ » بِضمِّ الصَّادِ وفتْحِ الرَّاءِ ، وأصْلُهُ عنْد الْعربِ منْ يصرَعُ النَّاسَ كثيراً

Dari Abu Hurariah radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Bukanlah orang yang keras -kuat- itu dengan banyaknya berkelahi -bergulat-, sesungguhnya orang-orang yang keras -kuat- ialah orang yang dapat menguasai dirinya di waktu sedang marah-marah.” [Muttafaq ‘alaih]Keterangan:Ashshura-ah dengan dhammahnya shad dan fathahnya ra’, menurut asalnya bagi bangsa Arab, artinya ialah orang yang suka sekali menyerang atau membanting orang banyak [sampai terbaring atau tidak sadarkan diri]. (HR.Riyadhus Shalihin : 45)
No Hadist 46

وعنْ سُلَيْمانَ بْنِ صُرَدٍ رضي اللَّه عنهُ قال : كُنْتُ جالِساً مع النَّبِي صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم، ورجُلان يستَبَّانِ وأَحدُهُمَا قَدِ احْمَرَّ وَجْهُهُ . وانْتفَخَتْ أودَاجهُ . فقال رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « إِنِّي لأعلَمُ كَلِمةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عنْهُ ما يجِدُ ، لوْ قَالَ : أَعْوذُ بِاللّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ ذَهَبَ عنْهُ ما يجدُ . فقَالُوا لَهُ : إِنَّ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قَالَ : «تعوَّذْ بِاللِّهِ مِن الشَّيَطان الرَّجِيمِ ». متفقٌ عليه .

Dari Sulaiman bin Shurad radhiyallahu anhu, katanya: “Saya duduk bersama Nabi shalallahu alaihi wasalam dan di situ ada dua orang yang saling bermaki-makian antara seorang dengan kawannya. Salah seorang dari keduanya itu telah merah padam mukanya dan membesarlah urat lehernya, kemudian Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Sesungguhnya saya mengetahui suatu kalimat yang apabila diucapkannya, tentulah hilang apa yang ditemuinya -kemarahannya, yaitu andaikata ia mengucapkan: “A’udzu billahi minasy syaithanir rajim,” tentulah lenyap apa yang ditemuinya itu. Orang-orang lalu berkata padanya – orang yang merah padam mukanya tadi: “Sesungguhnya Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari syaitan yang direjam.” [Muttafaq ‘alaih] (HR.Riyadhus Shalihin : 46)
No Hadist 47

وعنْ مُعاذ بْنِ أَنَسٍ رضي اللَّه عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قَالَ : « مَنْ كظَمَ غيظاً ، وهُو قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ ، دَعَاهُ اللَّهُ سُبْحانَهُ وتَعالَى عَلَى رُؤُوسِ الْخلائقِ يَوْمَ الْقِيامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ مَا شَاءَ » رواه أَبُو داوُدَ ، والتِّرْمِذيُّ وقال : حديثٌ حسنٌ

Dari Mu’az bin Anas radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Barangsiapa yang menahan marahnya padahal ia kuasa untuk meneruskannya -melaksanakannya- maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengundangnya di hadapan kepala -yakni disaksikan- sekalian makhluk pada hari kiamat, sehingga disuruhnya orang itu memilih bidadari-bidadari yang membelalak matanya dengan sesuka hatinya.” Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud 4777 dan Tirmidzi 2021,2493 dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan. (HR.Riyadhus Shalihin : 47)
No Hadist 48

وعنْ أَبِي هُريْرَةَ رَضيَ اللَّهُ عنهُ أَنَّ رَجُلاً قَالَ للنَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : أوْصِني ، قَالَ : « لا تَغضَبْ » فَردَّدَ مِراراً قَالَ ، « لا تَغْضَبْ » رواه البخاريُّ.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya ada seorang lelaki berkata kepada Nabi shalallahu alaihi wasalam: “Berilah wasiat padaku.” Beliau shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Jangan marah.” Orang itu mendatanginya berkali-kali tetapi beliau shalallahu alaihi wasalam tetap bersabda: “janganlah marah.” [Riwayat Bukhari] (HR.Riyadhus Shalihin : 48)
No Hadist 49

وَعَنْ أبي هُرَيْرةَ رَضِيَ اللَّهُ عنه قال : قال رسولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « مَا يَزَال الْبَلاءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمؤمِنَةِ في نَفْسِهِ وَولَدِهِ ومَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّه تعالى وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ» رواه التِّرْمِذيُّ وقال : حديثٌ حسنٌ صحِيحٌ .

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, katanya: “Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Tidak henti-hentinya bencana -bala’- itu mengenai seorang mu’min, lelaki atau perempuan, baik dalam dirinya sendiri, anaknya ataupun hartanya, sehingga ia menemui Allah Ta’ala dan di atasnya tidak ada lagi sesuatu kesalahanpun.” Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan shahih. (HR.Riyadhus Shalihin : 49)
No Hadist 50

وَعَنْ ابْن عَبَاسٍ رضي اللَّه عنهما قال : قَدِمَ عُيَيْنَة بْنُ حِصْنٍ فَنَزلَ عَلَى ابْنِ أَخيِهِ الْحُر بْنِ قَيْسٍ ، وَكَانَ مِن النَّفَرِ الَّذِين يُدْنِيهِمْ عُمرُ رضِيَ اللَّهُ عنهُ ، وَكَانَ الْقُرَّاءُ أَصْحابَ مَجْلِسِ عُمَرَ رضي اللَّهُ عنه وَمُشاوَرَتِهِ كُهولاً كَانُوا أَوْ شُبَّاناً ، فَقَالَ عُييْنَةُ لابْنِ أَخيِهِ : يَا ابْنَ أَخِى لَكَ وَجْهٌ عِنْدَ هَذَا الأمِيرِ فَاسْتَأْذِنْ لى عَلَيْهِ ، فاستَأذنَ فَأَذِنَ لَهُ عُمرُ . فَلَمَّا دخَلَ قَالَ : هِيْ يا ابْنَ الْخَطَّاب ، فَوَاللَّه مَا تُعْطِينَا الْجَزْلَ وَلا تَحْكُمُ فِينَا بالْعَدْل ، فَغَضِبَ عُمَرُ رضيَ اللَّه عنه حتَّى هَمَّ أَنْ يُوقِعَ بِهِ فَقَالَ لَهُ الْحُرُّ : يا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ اللَّه تعَالى قَال لِنبِيِّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : { خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجاهلينَ } [ سورة الأعراف: 198 ] وإنَّ هَذَا مِنَ الجاهلينَ ، وَاللَّه ما جاوَزَها عُمَرُ حِينَ تلاها ، وكَانَ وَقَّافاً عِنْد كِتَابِ اللَّهِ تعالى رواه البخارى .

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, katanya: ‘Uyainah bin Hishn datang -ke Madinah-, kemudian turun -sebagai tamu- pada anak saudaranya -sepupunya- yaitu Alhur bin Qais. Alhur adalah salah seorang dari sekian banyak orang-orang yang didekatkan oleh Umar radhiyallahu anhu -yakni dianggap sebagai orang dekat dan sering diajak bermusyawarah-, karena para ahli baca al-Quran -yang pandai maknanya- adalah menjadi sahabat-sahabat yang menetap di majlis Umar radhiyallahu anhu serta orang-orang yang diajak bermusyawarah olehnya, baik orang-orang tua maupun yang masih muda-muda usianya. ‘Uyainah berkata kepada sepupunya: “Hai anak saudaraku engkau mempunyai wajah -banyak diperhatikan- di sisi Amirul mu’minin ini. Cobalah meminta izin padanya supaya aku dapat menemuinya. Saudaranya itu memintakan izin untuk ‘Uyainah lalu Umarpun mengizinkannya. Setelah ‘Uyainah masuk, lalu ia berkata: “Hati-hatilah, hai putera Al khaththab – yaitu Umar, demi Allah, tuan tidak memberikan banyak pemberian -kelapangan hidup- pada kita dan tidak pula tuan memerintah di kalangan kita dengan keadilan.” Umar radhiyallahu anhu marah sehingga hampir-hampir saja akan menjatuhkan hukuman padanya. Alhur kemudian berkata: “Ya Amirul mu’minin, sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada NabiNya shalallahu alaihi wasalam – yang artinya: “Berilah maaf, perintahlah kebaikan dan berpalinglah -jangan menghiraukan- pada orang-orang yang bodoh.” Dan ini -yakni ‘Uyainah- adalah termasuk golongan orang-orang yang bodoh. Demi Allah, Umar tidak pernah melaluinya -melanggarnya- di waktu Alhur membacakan itu. Umar adalah seorang yang banyak berhentinya -amat mematuhi- di sisi Kitabullah Ta’ala. [Riwayat Bukhari] (HR.Riyadhus Shalihin : 50)